Senin, 24 Oktober 2011

Ilmu Tertinggi Dalam Islam


oleh :Taranesia Marlangen

Ilmu yang kita pelajari dari islam sangat banyak jenisnya dan sulit untuk dikuasai secara utuh. Namun, ada satu ilmu yang sulit sekali untuk dikuasai bahkan seorang kiai besar pun belum tentu mudah untuk menguasainya. Ilmu itu ialah ilmu IKHLAS.
“Barang siapa yang memiliki keikhlasan maka ia akan memiliki kesabaran yang tinggi.”

Ikhlas adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan oleh setiap orang, termasuk orang munafik dan kafir sekalipun. Tetapi sejatinya kata inilah yang paling berat dan paling sulit untuk direalisasikan. Terkadang para dai mampu menjaga keikhlasan di awal perjalanan, tetapi di tengah jalan berbagai macam ujian dan cobaan menghadangnya sehingga dia menjadi kendur, luntur dan jatuh kecebur sumur riya’ dan ujub. Na’udzubillâhi min dzâlik. Akumulasi dari hati yang bersih dan akhlak yang terpuji menyatu pada keikhlasan. Sementara, tanpa keikhlasan tidak ada lagi hati dan akhlak.
Keikhlasan merupakan mutiara teramat mahal yang harus dimiliki setiap mukmin dan para dai. Mutiara yang harus senantiasa dibersihkan dari berbagai macam kotoran dan debu. Apalagi bagi qiyadah dakwah. Jundiyah muthi’ah (ketentaraan yang taat) dan qiyadah mukhlishoh (kepemimpinan yang ikhlas) itulah kedua pilar utama gerakan Islam. Keduanya harus berjalan secara padu dan harmonis untuk meraih kesuksesan harakah dakwah di medan kehidupan.
Keikhlasan membuat beban menjadi ringan, kesusahan menjadi hiburan, musibah menjadi pembersih hati, penjara menjadi pesantren, pengusiran menjadi rihlah gerakan, harta menjadi jalan kontribusi yang signifikan, dan kekuasaan menjadi amanah perjuangan. Sungguh indah kata-kata mutiara Ibnu Taimiyah yang diungkapkan secara jujur, “Penahananku adalah perenungan, pengusiranku adalah tamasya, dan pembunuhanku adalah syahid.”
BUAH KEIKHLASAN
Pohon keikhlasan akan menghasilkan buah keikhlasan yaitu manis, indah, dan menyenangkan. Karena berasal dari pohon yang baik, akarnya kuat dan kokoh, sedangkan cabangnya menjulang ke langit, menghasilkan buahnya setiap saat. (Lihat surat Ibrahim: 24-25)
Ada beberapa buah dari keihklasan seseorang:
1. Sampai pada hakekat Islam, yaitu penyerahan total pada Allah
2. Selamat dari cinta harta, kedudukan, dan popularitas.
Dari Ka’ab bin Malik r.a., Rasulullah saw. bersabda,
“Tidaklah dua serigala lapar dikirim ke kambing lebih merusak melebihi ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan.” (HR At-Tirmidzi).
3. Bebas dari perbuatan buruk dan keji
4. Ikhlas menjadikan amal dunia secara umum sebagai ibadah.
5. Keluar dari setiap kesempitan.
6. Kemenangan dari tipu daya syetan.
7. Meraih kecintaan Allah.
8. Meraih kecintaan manusia.
9. Meraih kemenangan di dunia dan pahala yang besar di akhirat (lihat surat Ash-Shaff [61] : 10-13).
Sering kita bertanya apa & bagaimana sih ikhlas itu? Bagaimana caranya kita mengikhlaskan amal ibadah dan amal sholeh kita itu hanya kepada ALLAH saja? Sudahkah kita melihat dan introspeksi kepada setiap amalan yang kita lakukan, baik yang akan kita lakukan atau yang sudah pernah kita lakukan, apakah terbersit niat dalam hati karena ALLAH semata, ataukah karena sebab yang lain yang begitu banyak, yang sebabnya bisa karena makhluk, bisa karena hawa nafsu semata atau yang lainnya?
Seorang ulama yang bernama Sufyan Ats Tsauri pernah berkata, “Sesuatu yang paling sulit bagiku untuk aku luruskan adalah niatku, karena begitu seringnya ia berubah-ubah”. Niat yang baik atau keikhlasan merupakan sebuah perkara yang sulit untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan sering berbolak-baliknya hati kita. Terkadang ia ikhlas, di lain waktu tidak.
Gimana caranya ikhlas? Nih, sedikit resep untuk bisa ikhlas:
1. Banyak Berdoa
Di antara yang dapat menolong seorang hamba untuk ikhlas adalah dengan banyak berdoa kepada Allah. Lihatlah Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, di antara doa yang sering beliau panjatkan adalah doa:
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu sementara aku mengetahuinya, dan akupun memohon ampun terhadap perbuatan syirik yang tidak aku ketahui.” (Hadits Shahih riwayat Ahmad).”
2. Menyembunyikan Amal Kebaikan
Hal lain yang dapat mendorong seseorang agar lebih ikhlas adalah dengan menyembunyikan amal kebaikannya. Yakni dia menyembunyikan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dan lebih utama untuk disembunyikan (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dan lain-lain). Amal kebaikan yang dilakukan tanpa diketahui orang lain lebih diharapkan amal tersebut ikhlas. karena tidak ada yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut kecuali hanya karena Allah semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits, Seseorang yang dia betul-betul jujur dalam keikhlasannya, ia mencintai untuk menyembunyikan kebaikannya sebagaimana ia menyembunyikan kejelekannya. Maka dari itu marilah kita berusaha untuk membiasakan diri menyembunyikan kebaikan-kebaikan kita, karena ketahuilah, hal tersebut lebih dekat dengan keikhlasan.
3. Memandang Rendah Amal Kebaikan
Memandang rendah amal kebaikan yang kita lakukan dapat mendorong kita agar amal perbuatan kita tersebut lebih ikhlas. Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya keikhlasan. Semakin ujub seseorang terhadap amal kebaikan yang ia lakukan, maka akan semakin kecil dan rusak keikhlasan dari amal tersebut, bahkan pahala amal kebaikan tersebut dapat hilang sia-sia.
4. Takut Akan Tidak Diterimanya Amal
Allah berfirman :
“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS. Al Mu’minun : 60)
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa di antara sifat-sifat orang mukmin adalah mereka yang memberikan suatu pemberian, namun mereka takut akan tidak diterimanya amal perbuatan mereka tersebut (Tafsir Ibnu Katsir ).
Di antara hal yang dapat membantu kita untuk ikhlas adalah ketika kita takut akan tidak diterimanya amal kebaikan kita oleh Allah. Karena sesungguhnya keikhlasan itu tidak hanya ada ketika kita sedang mengerjakan amal kebaikan, namun keikhlasan harus ada baik sebelum maupun sesudah kita melakukan amal kebaikan. Apalah artinya apabila kita ikhlas ketika beramal, namun setelah itu kita merasa hebat dan bangga karena kita telah melakukan amal tersebut. Bukankah pahala dari amal kebaikan kita tersebut akan hilang dan sia-sia? Bukankah dengan demikian amal kebaikan kita malah tidak akan diterima oleh Allah? Tidakkah kita takut akan munculnya perasaan bangga setelah kita beramal sholeh yang menyebabkan tidak diterimanya amal kita tersebut? Dan pada kenyataannya hal ini sering terjadi dalam diri kita. Sungguh sangat merugikan sekali hal tersebut.
5. Tidak Terpengaruh Oleh Perkataan Manusia
Pujian dan perkataan orang lain terhadap seseorang merupakan suatu hal yang pada umumnya disenangi oleh manusia. Bahkan Rasulullah pernah menyatakan ketika ditanya tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian ia dipuji oleh manusia karenanya, beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin” (HR Muslim).
Seorang mukmin yang ikhlas adalah seorang yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun celaan manusia ketika ia beramal saleh. Ia pun menyadari bahwa pujian tersebut merupakan fitnah (ujian) baginya, sehingga ia akan berdoa kepada Allah untuk menyelamatkannya dari fitnah tersebut.
6. Bukanlah Pemilik Surga Dan Neraka
Jangan melakukan kebaikan untuk mendapatkan surga sebab tidak ada satu pun manusia yang dapat menolong diri mereka untuk masuk surga ataupun neraka.
7. Ingin Dicintai, Namun Dibenci
Seseorang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia tidak akan mendapatkan pujian tersebut dari mereka. Bahkan sebaliknya, manusia akan mencelanya, mereka akan membencinya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang memperlihat-lihatkan amalannya maka Allah akan menampakkan amalan-amalannya ” (HR. Muslim).
Akan tetapi, apabila seseorang melakukan amalan ikhlas karena Allah, maka Allah dan para makhluk-Nya akan mencintainya sebagaimana firman Allah ta’ala:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. Maryam : 96).
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ). (Tafsir Ibnu Katsir).
Demikianlah pembahasan kali ini, semoga bermanfaat bagi diri penulis dan kaum muslimin pada umumnya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas.
(Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatnya sehingga sempurnalah segala amal kebaikan)
***
Masya ALLAH ……
Ya ALLAH ……. Semoga engkau menerima semua amal sholeh dan amal ibadah kami dan semoga engkau selalu memberikan taufiq kepada kami untuk selalu ingat kepada Engkau dalam setiap hembusan nafas kami, dalam setiap langkah kami dan dalam setiap apa yang kami lakukan. Berilah pertolongan kepada kami agar kami bisa beramal hanya karena engkau semata. Ya ALLAH, hanya Engkaulah yang dapat menolong kami untuk selalu ikhlash dalam segala amal sholeh dan ibadah kami.
Ya ALLAH tiada yang dapat kami perbuat sehingga bisa ikhlas tanpa pertolongan-MU, Maha Suci Engkau dan Maha Terpuji Engkau Ya ALLAH. Janganlah Engkau jadikan kami ujub (berbangga diri) dengan amal kami, jadikanlah kami selalu takut kepada Engkau, takut tidak diterimanya amal dan ibadah kami. Amin.

Dialog Iblis Dengan Nabi Muhammad SAW


Wahab bin Munabbih berkata:

Allah telah menyuruh iblis datang kepada Nabi Muhammad SAW. untuk menjawab segala pertanyaan-pertanyaannya. Maka datanglah iblis berupa orang yang tua yang bertongkat dan ketika ditanya oleh Nabi SAW.

"Siapakah kamu?"

Jawabnya; "Iblis."

Nabi SAW. bertanya lagi; "Kenapakah kamu datang?".

Jawab iblis; "Allah menyuruhku datang kepadamu untuk menjawab segala pertanyaanmu."

Lalu Nabi Muhammad SAW bertanya; "Ya Mal'uun! berapa musuh-musuhmu dari ummatku?".

Jawab iblis; "Lima belas orang".

1. Engkau (Nabi Muhammad SAW).
2. Imam yang adil.
3. Orang kaya yang merendah diri.
4. Pedagang yang jujur [benar].
5. Orang Alim yang khusyuk.
6. Orang mukmin yang suka menasihati.
7. Orang mukmin yang murah hati (belas kasih).
8. Orang yang bertaubat dan tetap pada taubatnya.
9. Orang yang menjauh dari segala yang haram.
10. Orang yang tetap berwudhu {apabila batal sentiasa diperbaharui dengan wudhu yang lain).
11. Orang mukmin yang banyak bersedekah.
12. Orang mukmin yang baik budi akhlaqnya.
13. Orang mukmin yang banyak jasa gunanya pada manusia.
14. Orang yang membawa Al-Qur'an dan selalu membacanya.
15. Orang yang suka sembahyang tahajjud malam di waktu orang-orang sedang tidur.

Lalu ditanya oleh Nabi SAW.; "Siapakah kawan-kawanmu dari umatku?".

Jawab iblis; "Sepuluh orang".

1. Raja(pemerintah) yang zalim.
2. Orang kaya yang sombong.

3. Peniaga yang khianat(penipu).

4. Pemabuk (Peminum arak).

5. Tukang adu domba (fitnah).

6. Pelacur.

7. Pemakan harta anak yatim.

8. Orang yang meremehkan sembahyang.

9. Penolak zakat (tidak mengeluarkan zakat).

10.Orang yang panjang angan-angan.

Mereka itulah sahabat-sahabatku.

Iblis berkata: "Oleh kerana Engkau (wahai Tuhan) menyebabkan daku tersesat (maka) demi sesungguhnya aku akan mengambil tempat menghalangi mereka (dari menjalani) jalanMu yang lurus. [Al-Araaf : 16]

Petikan dari Kitab Tanbihul Ghaafilin.

Jumat, 26 November 2010

Penghambat Kesalihan


Sebagai muslim, setiap kita pasti menginginkan menjadi orang yang shaleh, sebab jangankan kita, Nabi-Nabi saja menginginkannya, padahal seorang Nabi tentu saja termasuk orang shaleh. Hal ini karena, keshalehan akan membuat seseorang bisa dimasukkan ke dalam surga. Diantara Nabi yang meminta agar dimasukkan ke dalam kelompok orang yang shaleh adalah Nabi Sulaiman as sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:

فَـتَـبَـسَّـمَ ضَـاحِـكًا مِـن قَـولِـهَـا وَقَالَ رَبِّ اَوْ زِعْـنِيْ اَن اَشْـكُرَ نِـعْمَـتَـكَ الَّتِيْ اَنعَـمْـتَ عَـلَـيَّ وَعَـلَى وَالــِدَيَّ وَاَن اَعمَـلَ صَالِحًـا تَـرْضَـاهُ وَاَدْخِـلْـنِيْ بِـرَحـمتِـكَ فِـعِـبَادِكَ الصَّـالِحِينَ

"Maka dia tersenyum dengan tertawa Karena (mendengar) perkataan semut itu. dan dia berdoa: "Ya Tuhanku berilah Aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat mu yang Telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah Aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS An Naml [27]:19).

Namun, untuk menjadi shaleh ada hambatan-hambatan yang menghadang sehingga setiap kita harus mewaspadainya, bahkan mengatasi agar jangan sampai sifat-sifat yang menjadi penghambat keshalehan ini ada pada diri kita masing-masing. Ali bin Abi Thalib yang sering disebut sebagai pintu ilmu dan gudang ilmunya oleh Rasulullah saw, mengemukakan adanya sifat-sifat yang menjadi hambatan untuk menjadi shaleh, beliau berkata seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi Al Bantani dalam kitabnya Nashaihul Ibad:

لَوْلاَ خَمْسُ خِصَالٍ لَصَارَ النَّاسُ كُلُّهُمْ صَالِحِيْنَ أَوَّلُهَا الْقَنَاعَةُ بِالْجَهْلِ وَالْحِرْصُ عَلَى الدُّنْيَا وَالشُّحُّ بِالْفَضْلِ وَالرِّيَاءُ فِى الْعَمَلِ وَاْلإِعْجَابُ بِالرَّأْيِ

Jika tidak ada lima sifat tercela, niscaya manusia seluruhnya akan menjadi orang shaleh, kelima sifat tercela itu adalah: merasa senang dengan kebodohan, rakus terhadap harta keduniaan, bakhil dengan kelebihan harta yang dimiliki, riya dalam setiap amal yang dilakukan dan senantiasa membanggakan pendapat sendiri

Dari ungkapan Ali bin Abi Thalib di atas, lima penghambat untuk menjadi orang yang shaleh harus kita pahami agar kita bisa mencegahnya dari diri kita masing-masing.

1. Senang Dengan Kebodohan.

Kejahiliyahan yang diterjemahkan dengan kebodohan bisa dipahami bodoh dalam arti intelektual yakni tidak memahami ilmu tentang nilai-nilai kebaikan dan kebenaran atau bisa juga dipahami mengetahui ilmu tentang kebenaran tapi tidak menjalani kehidupan dengan baik dan benar. Kejahiliyahan seperti inilah yang dibenahi oleh Rasulullah saw, karena itu jangan sampai ada seorang muslim yang justeru senang dengan kebodohan.

Secara garis besar, Al-Qur’an menyebutkan kejahiliyahan dalam tiga bentuk. Pertama adalah jahiliyah dalam masalah ketuhanan, yakni menjadikan selain Allah swt sebagai tuhannya. Tuhan dalam Islam adalah sesuatu yang tidak bisa dibuat, tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tidak ada sesuatu yang bisa menyamainya, bahkan tuhan itu justeru yang mencipta segala sesuatu, bukan dicipta oleh sesuatu. Karena itu, umat Nabi Musa diangap jahil karena mereka meminta dibuatkan tuhan, dalam kaitan ini Allah swt berfirman:

وَجـوَزْنــَا بَنِيْ اِسْـرَآئِيـلَ الـبَحْرَ فَـاَتَـوا عَـلَى قَومِ يـَعْـكُـفُـونَ عَلَى اَصْنَـامٍ لَّـهُـمْ قَـالُوا يـمُـسَى اجعَـلْ لَّنــَا اِلـهًـا كَمَالَـهُـمْ ءَالـِـهَـةٌ قَـالَ اِنــَّكُـم قَومٌ تَجـْهَـلُون

"Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada satu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Israil berkata: Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui/jahil.” (QS Al A’raf [7]:138).

Kedua, jahiliyah dalam masalah syariah atau hukum, yakni berhukum kepada hukum selain dari hukum Allah atau hukum yang bertentangan dengan hukum-Nya. Itu sebabnya, seorang muslim jangan menggunakan hukum yang lain kecuali hukum Allah atau jangan gunakan hukum yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah swt yang disebutkan dalam firman:

اَفَـحُكمُ الجـَهِـلِيَّـةِ يَبْغُون وَمن اَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُـكْمًـالِّـقَومٍ يُّـوقِـنُون

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (QS Al Maidah [5]:50).

Ketiga, jahiliyah dalam masalah akhlak atau prilaku yang tidak sejalan dengan nilai-nilai yang datang dari-Nya, misalnya saja penampilan seorang wanita yang tidak islami, sikap sombong, pembicaraan yang tidak bermanfaat, perzinahan dll. Allah swt berfirman dalam kaitan menceritakan kasus yang terjadi pada Nabi Yusuf as:

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ اَحَبُّ اِلَيَّ مِمَّا يَـدعُونَنِيْ اِلَـيْـهِ وَ إِلاَّ تَـصْرِفْ عَنِّيْ كَيْدَهُـنَّ اَصْبُ اِلَيـهِنَّ وَاَكُن مِنَ الجَاهِلِينَ

"Yusuf berkata: Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu akan akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." (QS Yusuf [12]:33).

2. Rakus Terhadap Harta.

Setiap orang pasti membutuhkan harta untuk bisa memenuhi segala kebutuhannya dalam hidup ini, karenanya harta harus dicari dengan cara yang halal dan mensyukuri bila telah memperolehnya, baik dalam jumlah yang sedikit apalagi banyak. Agar kita bisa dan tetap menjadi shaleh dalam kaitan dengan harta, maka jangan sampai kita menjadi orang yang rakus.

Kerakusan dalam harta biasanya ditandai dengan menginginkan harta yang banyak dengan cara yang tidak halal atau ia ingin agar orang lain tidak mendapatkannya sehingga dalam suatu usaha ia melakukan penguasaan atau monopoli yang mernyebabkan orang lain tidak mendapatkan peluang untuk berusaha. Disamping itu orang rakus menjadi iri terhadap orang lain yang memiliki harta sehingga ia berusaha agar tidak ada orang yang menyainginya, bahkan rakus terhadap harta membuat orang tidak peduli terhadap ketentuan hukum sehingga Allah swt memperingatkan kita semua dengan firman-Nya:

وَلاَ تَـأكُـلُوا اَموِالَـكُم بَيْـنَكُـم بِـالـبَـاطِـلِ وَتُـدْلُـوابِـهَـا اِلَى الحـُكَّـامِ لِـتَـأكُـلُـوا فَـرِيْـقًـا مِّن اَمْـوَالِ النَّـاسِ بِالاِثْـمِ وَاَنـتُم تَـعْلَـمُـونَ

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui." (QS Al Baqarah [2]:188)

3. Bakhil Terhadap Harta.

Memiliki sifat bakhil atau kikir dalam kaitan dengan harta membuat seseorang akan terhindar dari keshalehan, hal ini karena bakhil merupakan sifat tercela yang seharusnya dihindari, bila tidak, maka ia akan menjadi orang yang rugi dalam kehidupannya di dunia dan akhirat, Allah swt berfirman yang artinya:

وَمَن يُّـوقَ سُـحَّ نَـفْـسِـهِ فَـأُولئـِكَ هُـمُ المــُفْـلِـحُـون

"Dan siapa yang dihindarkan dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS Al Hasyr [59]:9).

Karena manusia menjadi tidak shaleh, maka kekikiran telah mengakibatkan binasanya suatu umat, hal ini karena mereka melakukan pertumpahan darah dan ternodalah nilai-nilai kehormatan yang mereka miliki, disinilah salah satu letak pentingnya bagi kita untuk menjauhi kekikiran, Rasulullah saw bersabda: Jauhilah kekikiran, karena sesungguhnya ia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian, mendorong mereka menumpahkan darah dan menghalalkan semua yang diharamkan Allah (HR. Muslim).

Oleh karena itu, kekikiran jangan dipandang sebagai sesuatu yang membuat seseorang beruntung hanya karena hartanya tidak berkurang, tapi sebenarnya ia mengalami kerugiaan yang nyata, misalnya orang lain menjadi tidak suka kepadanya, ketenangan jiwa hilang dari dirinya, sedangkan di akhirat dia lebih merugi lagi, Allah swt berfirman:

وَلاَ يَحْـسَـبَنَّ الَّذِينَ يَبْـخَـلُونَ بِمَآ ءَاتـهُمُ اللهُ مِن فَضلِهِ هُوَ خَيْرًا لَـهُـمْ بَـل هُوَ شَرُُّ لَّـهُم سَيُطَـوَّقُونَ مَـابَخِلُـوا بِهِ يَومَ الـقِـيَـامَةِ وَ ِللهِ مِـيْرَاثُ الـسَّـمَـوَاتِ وَالاَرْض وَاللهُ بِمَـاتَـعْمَـلُونَ خَـبِـيرٌ

"Sekali-kali, janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka pada hari kiamat." (QS Ali Imran [3]:180).

4. Riya Dalam Amal.

Riya adalah melakukan kebaikan bukan karena Allah, tapi karena ingin dilihat orang, dipuji atau ada pamrih dalam amalnya. Riya merupakan perbuatan dan sifat orang-orang munafik, karenanya seorang muslim jangan sampai memiliki sifat yang satu ini karena dengan begitu sulit baginya untuk menjadi orang yang shaleh. Dalam konteks ini pula, dikenal istilah sum’ah yang berasal dari kata samma’a yang maksudnya adalah menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak diketahuinya dengan maksud agar orang yang sudah tahu amalnya itu akan memujinya, Allah swt berfirman:

اِنَّ المــُنَـفِـقِـينَ يُـخـدِعُـونَ اللهَ وَهُـوَ خـدِعُـهُـمْ وَاِذَا قَامُوا اِلَى الصَّـلَوةِ قَـامُوا كُـسَـالَى يُـرَآءُونَ النـَّـاسَ وَلاَ يَذْكُـرُونَ اللهَ اِلاَّ قَـلِـلاً

"Sesungguhnya orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS An Nisa [4]:142).

Riya merupakan bagian dari kemusyrikan, namun ia tergolong syirik yang kecil, Rasulullah saw sangat khawatir bila hal ini terjadi pada umatnya, karena sebanyak dan sebagus apapun amal seorang muslim, bila ternyata mengandung kemuyrikan meskipun sangat kecil, tidak ada nilai apa-apanya dihadapan Allah swt, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ أَخْـوَفَ مَـاأَخَـافُ عَلَيْكُمْ الشِّـرْكُ الأَصْغَـرُِ, قَالُـوْا : وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُِ يَارَسَُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ : الـرِّيـَاءُ.

"Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik yang kecil. Sahabat bertanya: “apakah syirik yang kecil itu ya Rasulullah?”. Rasulullah menjawab: “Riya” (HR. Ahmad).


5. Membanggakan Pendapat.

Membanggakan pendapat sendiri menjadi penghambat keshalehan karena dengan demikian seseorang akan meremehkan pendapat orang lain meskipun pendapat tersebut benar. Karena itu mau mendengar pendapat orang lain, apalagi memang meminta pendapat orang lain menjadi sesuatu yang sangat baik. Bila seseorang tidak mau menerima pendapat yang benar, bagaimana mungkin ia akan menjadi shaleh.

Oleh karena itu, para sahabat telah mencontohkan kepada kita bagaimana mereka mau menerima pendapat orang lain yang benar meskipun harus mencabut kembali pendapatnya yang tidak tepat, Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh dalam masalah ini ketika ia mencabut kembali pendapatnya yang salah dalam masalah melarang pemberian mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak.

Dengan demikian, mau menjadi shaleh atau tidak sangat tergantung pada usaha kita masing-masing dalam hidup ini dan sebagai muslim yang baik niscaya setiap kita akan berusaha kearah itu.


Drs. H. Ahmad Yani
Email: ayani_ku@yahoo.co.id

Perjalanan Menuju Akhirat


Hari akhirat, hari setelah kematian yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap orang yang beriman kepada Allah ta’ala dan kebenaran agama-Nya. Hari itulah hari pembalasan semua amal perbuatan manusia, hari perhitungan yang sempurna, hari ditampakkannya semua perbuatan yang tersembunyi sewaktu di dunia, hari yang pada waktu itu orang-orang yang melampaui batas akan berkata dengan penuh penyesalan.
يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Duhai, alangkah baiknya kiranya aku dahulu mengerjakan (amal saleh) untuk hidupku ini.” (Qs. Al Fajr: 24).

Maka seharusnya setiap muslim yang mementingkan keselamatan dirinya benar-benar memberikan perhatian besar dalam mempersiapkan diri dan mengumpulkan bekal untuk menghadapi hari yang kekal abadi ini. Karena pada hakikatnya, hari inilah masa depan dan hari esok manusia yang sesungguhnya, yang kedatangan hari tersebut sangat cepat seiring dengan cepat berlalunya usia manusia. Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hasyr: 18).

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Qotadah berkata: “Senantiasa tuhanmu (Allah) mendekatkan (waktu terjadinya) hari kiamat, sampai-sampai Dia menjadikannya seperti besok.” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfan (hal. 152 – Mawaaridul Amaan). Beliau (Abu Qatadah) adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 409).

Semoga Allah ta’ala meridhai sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang mengingatkan hal ini dalam ucapannya yang terkenal: “Hisab-lah (introspeksilah) dirimu (saat ini) sebelum kamu di-hisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu (saat ini) sebelum (amal perbuatan)mu ditimbang (pada hari kiamat), karena sesungguhnya akan mudah bagimu (menghadapi) hisab besok (hari kiamat) jika kamu (selalu) mengintrospeksi dirimu saat ini, dan hiasilah dirimu (dengan amal shaleh) untuk menghadapi (hari) yang besar (ketika manusia) dihadapkan (kepada Allah ta’ala):
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Allah), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi-Nya).” (Qs. Al Haaqqah: 18). (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan).

Senada dengan ucapan di atas sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan (kita) sedangkan akhirat telah datang di hadapan (kita), dan masing-masing dari keduanya (dunia dan akhirat) memiliki pengagum, maka jadilah kamu orang yang mengagumi/mencintai akhirat dan janganlah kamu menjadi orang yang mengagumi dunia, karena sesungguhnya saat ini (waktunya) beramal dan tidak ada perhitungan, adapun besok (di akhirat) adalah (saat) perhitungan dan tidak ada (waktu lagi untuk) beramal.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Az Zuhd (hal. 130) dan dinukil oleh Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitab beliau Jaami’ul ‘uluumi wal hikam (hal. 461)).

Jadilah kamu di dunia seperti orang asing…

Dunia tempat persinggahan sementara dan sebagai ladang akhirat tempat kita mengumpulkan bekal untuk menempuh perjalanan menuju negeri yang kekal abadi itu. Barangsiapa yang mengumpulkan bekal yang cukup maka dengan izin Allah dia akan sampai ke tujuan dengan selamat, dan barang siapa yang bekalnya kurang maka dikhawatirkan dia tidak akan sampai ke tujuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita sikap yang benar dalam kehidupan di dunia dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang melakukan perjalanan.” (HR. Al Bukhari no. 6053).

Hadits ini merupakan bimbingan bagi orang yang beriman tentang bagaimana seharusnya dia menempatkan dirinya dalam kehidupan di dunia. Karena orang asing (perantau) atau orang yang sedang melakukan perjalanan adalah orang yang hanya tinggal sementara dan tidak terikat hatinya kepada tempat persinggahannya, serta terus merindukan untuk kembali ke kampung halamannya. Demikianlah keadaan seorang mukmin di dunia yang hatinya selalu terikat dan rindu untu kembali ke kampung halamannya yang sebenarnya, yaitu surga tempat tinggal pertama kedua orang tua kita, Adam ‘alaihis salam dan istrinya Hawa, sebelum mereka berdua diturunkan ke dunia.
Dalam sebuah nasehat tertulis yang disampaikan Imam Hasan Al Bashri kepada Imam Umar bin Abdul Azizi, beliau berkata: “…Sesungguhnya dunia adalah negeri perantauan dan bukan tempat tinggal (yang sebenarnya), dan hanyalah Adam ‘alaihis salam diturunkan ke dunia ini untuk menerima hukuman (akibat perbuatan dosanya)…” (Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan (hal. 84 – Mawaaridul Amaan))
Dalam mengungkapkan makna ini Ibnul Qayyim berkata dalam bait syairnya:
Marilah (kita menuju) surga ‘adn (tempat menetap) karena sesungguhnya itulah
Tempat tinggal kita yang pertama, yang di dalamnya terdapat kemah (yang indah)
Akan tetapi kita (sekarang dalam) tawanan musuh (setan), maka apakah kamu melihat
Kita akan (bisa) kembali ke kampung halaman kita dengan selamat?
(Miftaahu Daaris Sa’aadah (1/9-10), juga dinukil oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 462).

Sikap hidup ini menjadikan seorang mukmin tidak panjang angan-angan dan terlalu muluk dalam menjalani kehidupan dunia, karena “barangsiapa yang hidup di dunia seperti orang asing, maka dia tidak punya keinginan kecuali mempersiapkan bekal yang bermanfaat baginya ketika kembali ke kampung halamannya (akhirat), sehingga dia tidak berambisi dan berlomba bersama orang-orang yang mengejar dunia dalam kemewahan (dunia yang mereka cari), karena keadaanya seperti seorang perantau, sebagaimana dia tidak merasa risau dengan kemiskinan dan rendahnya kedudukannya di kalangan mereka.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 461), dengan sedikit penyesuaian).

Makna inilah yang diisyaratkan oleh sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu ketika beliau berkata: “Jika kamu (berada) di waktu sore maka janganlah tunggu datangnya waktu pagi, dan jika kamu (berada) di waktu pagi maka janganlah tunggu datangnya waktu sore, serta gunakanlah masa sehatmu (dengan memperbanyak amal shaleh sebelum datang) masa sakitmu, dan masa hidupmu (sebelum) kematian (menjemputmu).” (Diriwayatkan oleh imam Al Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, no. 6053).

Bahkan inilah makna zuhud di dunia yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi.” (Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 465))
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوى
Berbekallah, dan sungguh sebaik-baik bekal adalah takwa
Sebaik-baik bekal untuk perjalanan ke akhirat adalah takwa, yang berarti “menjadikan pelindung antara diri seorang hamba dengan siksaan dan kemurkaan Allah yang dikhawatirkan akan menimpanya, yaitu (dengan) melakukan ketaatan dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Ucapan Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam (hal. 196)).

Maka sesuai dengan keadaan seorang hamba di dunia dalam melakukan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan perbuatan maksiat, begitu pula keadaannya di akhirat kelak. Semakin banyak dia berbuat baik di dunia semakin banyak pula kebaikan yang akan di raihnya di akhirat nanti, yang berarti semakin besar pula peluangnya untuk meraih keselamatan dalam perjalanannya menuju surga.
Inilah diantara makna yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Setiap orang akan dibangkitkan (pada hari kiamat) sesuai dengan (keadaannya) sewaktu dia meninggal dunia.” (HR. Muslim, no. 2878). Artinya: Dia akan mendapatkan balasan pada hari kebangkitan kelak sesuai dengan amal baik atau buruk yang dilakukannya sewaktu di dunia. (Lihat penjelasan Al Munaawi dalam kitab beliau Faidhul Qadiir (6/457)).

Landasan utama takwa adalah dua kalimat syahadat: Laa ilaaha illallah dan Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, sebaik-baik bekal yang perlu dipersiapkan untuk selamat dalam perjalanan besar ini adalah memurnikan tauhid (mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah dan menjauhi perbuatan syirik) yang merupakan inti makna syahadat Laa ilaaha illallah dan menyempurnakan al ittibaa’ (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi perbuatan bid’ah) yang merupakan inti makna syahadat Muhammadur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka dari itu, semua peristiwa besar yang akan dialami manusia pada hari kiamat nanti, Allah akan mudahkan bagi mereka dalam menghadapinya sesuai dengan pemahaman dan pengamalan mereka terhadap dua landasan utama Islam ini sewaktu di dunia.
Fitnah (ujian keimanan) dalam kubur yang merupakan peristiwa besar pertama yang akan dialami manusia setelah kematiannya, mereka akan ditanya oleh dua malaikat: Munkar dan Nakir (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits riwayat At Tirmidzi (no. 1083) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahiihah, no. 1391) dengan tiga pertanyaan: Siapa Tuhanmu?, apa agamamu? dan siapa nabimu? (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Ahmad (4/287-288), Abu Dawud, no. 4753 dan Al Hakim (1/37-39), dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi.). Allah hanya menjanjikan kemudahan dan keteguhan iman ketika mengahadapi ujian besar ini bagi orang-orang yang memahami dan mengamalkan dua landasan Islam ini dengan benar, sehingga mereka akan menjawab: Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam dan Nabiku adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman:
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (Qs. Ibrahim: 27).

Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.” (HR.Al Bukhari (no. 4422), hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim (no. 2871)).

Termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang penuh kemuliaan, warna airnya lebih putih daripada susu, rasanya lebih manis daripada madu, dan baunya lebih harum daripada minyak wangi misk (kesturi), barangsiapa yang meminum darinya sekali saja maka dia tidak akan kehausan selamanya (Semua ini disebutkan dalam hadits yang shahih riwayat imam Al Bukhari (no. 6208) dan Muslim (no. 2292). Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang dimudahkan minum darinya). Dalam hadits yang shahih (Riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu) juga disebutkan bahwa ada orang-orang yang dihalangi dan diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Karena mereka sewaktu di dunia berpaling dari petunjuk dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemahaman dan perbuatan bid’ah, sehingga di akhirat mereka dihalangi dari kemuliaan meminum air telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka.
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang tidak diridhai Allah dalam agama ini akan diusir dari telaga Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam (pada hari kiamat nanti), dan yang paling parah di antara mereka adalah orang-orang (ahlul bid’ah) yang menyelisihi (pemahaman) jama’ah kaum muslimin, seperti orang-orang khawarij, Syi’ah Rafidhah dan para pengikut hawa nafsu, demikian pula orang-orang yang berbuat zhalim yang melampaui batas dalam kezhaliman dan menentang kebenaran, serta orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar secara terang-terangan, semua mereka ini dikhawatirkan termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini (yang diusir dari telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Kitab Syarh Az Zarqaani ‘Ala Muwaththa-il Imaami Maalik, 1/65)
Beliau (Ibnu Abdil Barr) adalah Yusuf bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Barr An Namari Al Andalusi (wafat 463 H), syaikhul Islam dan imam besar ahlus Sunnah dari wilayah Magrib, penulis banyak kitab hadits dan fikih yang sangat bermanfaat. Biografi beliau dalam kitab Tadzkiratul Huffaazh (3/1128).

Demikian pula termasuk peristiwa besar pada hari kiamat, melintasi ash shiraath (jembatan) yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam, di antara surga dan neraka. Dalam hadits yang shahih (Riwayat imam Al Bukhari (no. 7001) dan Muslim (no. 183) dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu) disebutkan bahwa keadaan orang yang melintasi jembatan tersebut bermacam-macam sesuai dengan amal perbuatan mereka sewaktu di dunia. “Ada yang melintasinya secepat kerdipan mata, ada yang secepat kilat, ada yang secepat angin, ada yang secepat kuda pacuan yang kencang, ada yang secepat menunggang onta, ada yang berlari, ada yang berjalan, ada yang merangkak, dan ada yang disambar dengan pengait besi kemudian dilemparkan ke dalam neraka Jahannam” – na’uudzu billahi min daalik – (Ucapan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab beliau Al Aqiidah al Waasithiyyah, hal. 20) .

Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin ketika menjelaskan sebab perbedaan keadaan orang-orang yang melintasi jembatan tersebut, beliau berkata: “Ini semua (tentu saja) bukan dengan pilihan masing-masing orang, karena kalau dengan pilihan (sendiri) tentu semua orang ingin melintasinya dengan cepat, akan tetapi (keadaan manusia sewaktu) melintasi (jembatan tersebut) adalah sesuai dengan cepat (atau lambatnya mereka) dalam menerima (dan mengamalkan) syariat Islam di dunia ini; barangsiapa yang bersegera dalam menerima (petunjuk dan sunnah) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diapun akan cepat melintasi jembatan tersebut, dan (sebaliknya) barangsiapa yang lambat dalam hal ini, maka diapun akan lambat melintasinya; sebagai balasan yang setimpal, dan balasan (perbuatan manusia) adalah sesuai dengan jenis perbuatannya.” (Kitab Syarhul Aqiidatil Waasithiyyah, 2/162)
وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
Balasan akhir yang baik (yaitu Surga) bagi orang-orang yang bertakwa
Akhirnya, perjalanan manusia akan sampai pada tahapan akhir; surga yang penuh kenikmatan, atau neraka yang penuh dengan siksaan yang pedih. Di sinilah Allah ta’ala akan memberikan balasan yang sempurna bagi manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka di dunia. Allah ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ طَغَى وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى، وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Adapun orang-orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)” (Qs. An Naazi’aat: 37-41).

Maka balasan akhir yang baik hanyalah Allah peruntukkan bagi orang-orang yang bertakwa dan membekali dirinya dengan ketaatan kepada-Nya, serta menjauhi perbuatan yang menyimpang dari agama-Nya. Allah ta’ala berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لا يُرِيدُونَ عُلُوّاً فِي الْأَرْضِ وَلا فَسَاداً وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, dan kesudahan (yang baik) itu (surga) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al Qashash: 83)
Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata: “…Jika mereka (orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini) tidak mempunyai keinginan untuk menyombongkan diri dan berbuat kerusakan (maksiat) di (muka) bumi, maka konsekwensinya (berarti) keinginan mereka (hanya) tertuju kepada Allah, tujuan mereka (hanya mempersiapkan bekal untuk) negeri akhirat, dan keadan mereka (sewaktu di dunia): selalu merendahkan diri kepada hamba-hamba Allah, serta selalu berpegang kepada kebenaran dan mengerjakan amal shaleh, mereka itulah orang-orang bertakwa yang akan mendapatkan balasan akhir yang baik (surga dari Allah ta’ala).” (Taisiirul Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannaan, hal. 453)

Penutup

Setelah kita merenungi tahapan-tahapan perjalanan besar ini, marilah kita bertanya kepada diri kita sendiri: sudahkah kita mempersiapkan bekal yang cukup supaya selamat dalam perjalanan tersebut? Kalau jawabannya: belum, maka jangan putus asa, masih ada waktu untuk berbenah diri dan memperbaiki segala kekurangan kita -dengan izin Allah ta’ala- . Caranya, bersegeralah untuk kembali dan bertobat kepada Allah, serta memperbanyak amal shaleh pada sisa umur kita yang masih ada. Dan semua itu akan mudah bagi orang yang Allah berikan taufik dan kemudahan baginya.
Imam Fudhail bin ‘Iyaadh pernah menasehati seseorang lelaki, beliau berkata: “Berapa tahun usiamu (sekarang)”? Lelaki itu menjawab: Enam puluh tahun. Fudhail berkata: “(Berarti) sejak enam puluh tahun (yang lalu) kamu menempuh perjalanan menuju Allah dan (mungkin saja) kamu hampir sampai”. Lelaki itu menjawab: Sesungguhnya kita ini milik Allah dan akan kembali kepada-Nya. Maka Fudhail berkata: “Apakah kamu paham arti ucapanmu? Kamu berkata: Aku (hamba) milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, barangsiapa yang menyadari bahwa dia adalah hamba milik Allah dan akan kembali kepada-Nya, maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya pada hari kiamat nanti), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan berdiri (di hadapan-Nya) maka hendaknya dia mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya selama di dunia), dan barangsiapa yang mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban (atas perbuatannya) maka hendaknya dia mempersiapkan jawabannya.” Maka lelaki itu bertanya: (Kalau demikian) bagaimana caranya (untuk menyelamatkan diri ketika itu)? Fudhail menjawab: “(Caranya) mudah.” Leleki itu bertanya lagi: Apa itu? Fudhail berkata: “Engkau memperbaiki (diri) pada sisa umurmu (yang masih ada), maka Allah akan mengampuni (perbuatan dosamu) di masa lalu, karena jika kamu (tetap) berbuat buruk pada sisa umurmu (yang masih ada), kamu akan di siksa (pada hari kiamat) karena (perbuatan dosamu) di masa lalu dan pada sisa umurmu.” (Dinukil oleh Imam Ibnu Rajab dalam kitab Jaami’ul ‘Uluumi Wal Hikam, hal. 464)
Beliau (Fudhail bin ‘Iyaadh) adalah Fudhail bin ‘Iyaadh bin Mas’uud At Tamimi (wafat 187 H), seorang imam besar dari dari kalangan atba’ut tabi’in yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seorang ahli ibadah (lihat kitab Taqriibut Tahdziib, hal. 403)
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam HR. Muslim, no. 2720) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) untuk kebaikan agama, dunia dan akhirat kita:
Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan penentu (kebaikan) semua urusanku, dan perbaikilah (urusan) duniaku yang merupakan tempat hidupku, serta perbaikilah akhiratku yang merupakan tempat kembaliku (selamanya), jadikanlah (masa) hidupku sebagai penambah kebaikan bagiku, dan (jadikanlah) kematianku sebagai penghalang bagiku dari semua keburukan.
وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 20 Shafar 1430 H
***
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim Al Buthoni, M.A.
Artikel www.muslim.or.id